KALENDER


Free Blog Content
BELAJAR BERSAMA - GO GREEN SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI, NIKMATI SAJIAN DARI BLOG KAMI

Jumat, 14 Oktober 2011

PROFILE YONGKI A


YONGKY ARIWIBOWO

Yongki Aribowo (ditulis juga Yongki Ariwibowo, lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 23 November 1989; umur 21 tahun) adalah seorang pemain sepak bola profesional yang kini bermain di klub Arema Indonesia. Sebagai penyerang, Yongki memiliki kecepatan, kelincahan, kemampuan mengontrol bola, memanfaatkan perangkap offside, tendangan terukur mematikan, dan sundulan bola-bola atas yang cukup baik. Seperti pemain lain ia juga mempunyai idola, pemain yang ia kagumi adalah striker AC Milan, Filippo Inzaghi. Saat ini ia tergabung dalam Indonesia asuhan Alfred Riedl untuk Piala AFF 2010. Dari tiga kali penampilan ia sudah menabung dua gol, ketika timnas bersua Maladewa dan Timor Leste.

karier klub

SSB Sinar Jaya

Yongki memulai masa sebagai pemain sepak bola di SSB Sinar Jaya, Tulungagung sebagai pemain binaan pada tahun 2004. Disini, bakatnya terlihat dalam kemampuannya menggocek bola, kecepatan saat membawa bola, kelincahan dalam menipu pemain bertahan lawan, dan keahliannya dalam menerobos perangkap offside. Pada tahun 2006, dengan harapan memupuk karier sepak bola profesionalnya, ia kemudian berhenti dari SSB Sinar Jaya untuk bergabung dengan klub profesional pada saat itu yang bernama Perseta.

Perseta

Pada tahun 2006, Yongki bergabung dengan Perseta, namun ia diterima hanya sebagai tim junior. Tidak pupus harapan dengan hanya memasuki tim junior, Yongki terus berusaha keras untuk dapat menembus tim inti.

Di Perseta Junior, talenta Yongki semakin berkembang, tapi justru dia malah sering dibangkucadangkan oleh pelatih Perseta Junior.

PSBI Blitar

Tak betah di Perseta, dia melabuhkan kakinya untuk merumput di klub sepak bola tetangga, PSBI Blitar yang notabene sebagai klub yang kastanya setingkat lebih tinggi dari Perseta. Posisi Yongki sebagai striker yang pandai menempatkan posisi di depan gawang lawan dan memiliki kecepatan lari di atas rata-rata membuat pengurus Persik Kediri tertarik dan merekrutnya sebagi pemain Persik Kediri U-21.

Persik Kediri

Yongki bergabung dengan Persik Kediri U-21 pada musim 2008-2009. Saat bermain bersama Persik Kediri U-21, Yongki tampil sebanyak 25 kali dan mencetak 16 gol.

Walaupun sudah direkrut sebagai pemain Persik Kediri U-21 yang kastanya setingkat lebih tinggi dari PSBI Blitar, lagi – lagi nasib Yongki kurang begitu mujur. Dia lebih sering menjadi pemain cadangan dan kalah pamor dari striker muda lainnya seperti Aan Andik. Sementara tim inti Persik Kediri kala itu penuh dengan penyerang papan atas Indonesia Super League seperti Cristian Gonzales, Budi Sudarsono, dan Ronald Fagundez, sehingga ia kurang diperhitungkan.

Pada paruh musim Indonesia Super League 2009-2010, ia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk tampil bersama tim inti, sebanyak 19 kali dan mencetak 7 gol.

Arema Indonesia

Selepas terdegradasinya Persik Kediri dari Indonesia Super League ke Divisi Utama pada Liga Super Indonesia musim 2009-2010, Yongki bergabung dengan klub Arema Indonesia, sebuah klub penghuni Liga Super Indonesia, dengan status Free Transfer, dikarenakan masa kontraknya yang telah habis.

Persisam Putra Samarinda

Pada 13 Oktober 2011, Yongki resmi bergabung dengan Persisam Putra Samarinda.


Legenda Air Terjun Coban Rondo


Legenda Air Terjun Coban Rondo

Dahulu kala ada sepasangan pengantin yang baru melangsungkan pernikahannya. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi yang akan menikah dengan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmoro. Setelah 36 hari (selapan) menikah, Dewi Anjarwati mengajak suaminya untuk berkunjung ke Gunung Anjasmoro. Namun orang tua Dewi Anjarwati melarang karena baru “selapan” menikah. Tetapi keduanya bersikeras pergi dengan segala resiko apapun yang akan terjadi di perjalanan.

Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Joko Lelono. Tampaknya Joko Lelono tertarik dengan kecantikan Dewi Anjarwati. Selanjutnya Joko Lelono berusaha merebut Dewi Anjarwati dari Raden Baron Kusuma. Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan, sebelum berkelahi Raden Baron Kusuma memerintahkan para punakawan (pendamping) agar membawa Dewi Anjarwati ke suatu tempat yang ada Cobannya (air Terjun). Pertempuran antara dua orang ini berlangsung seru. Karena sama mempunyai ilmu yang sama keduanya gugur dalam perkelahian itu.

Dengan meninggalnya Raden Baron Kusuma maka Dewi Anjarwati menjadi jandda atau “rondo” dalam bahasa Jawa. Sejak saat itulah air terjun yang ditempati Dewi Anjarwati lebih dikenal sebagai Coban Rondo. Konon batu besar yang ada dibawah air terjun itu merupakan tempat dudu sang putri.

INFORMASI COBAN RONDO

*. Air Terjun Coban Rondo memiliki ketinggian 84 meter.

*. Air Terjun Coban Rondo berada di ketinggian 1.135 meter dari permukaan laut.

*. Suhu rata-rata +/- 22 derajat Celcius.

*. Coban Rondo pertama kali dipergunakan sebagai obyek wisata pada tahun 1980.

*. Coban Rondo berada di desa Pandansari Kecamatan Pujon Kab. malang.

*. Letak Coban Rondo berada dalam wilayah KPH Perum Perhutani Malang.

*. Debit air terjun pada musim penghujan 150 liter/ detik.

*. Debit air terjun pada musim kemarau 90 liter/ detik.

PRAMUKA INDONESIA


PRAMUKA INDONESIA

gerakan Pramuka Indonesia adalah nama organisasi pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan yang dilaksanakan di Indonesia. Kata “Pramuka” merupakan singkatan dari praja muda karana, yang memiliki arti rakyat muda yang suka berkarya.

“Pramuka” merupakan sebutan bagi anggota Gerakan Pramuka, yang meliputi; Pramuka Siaga, Pramuka Penggalang, Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega. Kelompok anggota yang lain yaitu Pembina Pramuka, Andalan, Pelatih, Pamong Saka, Staf Kwartir dan Majelis Pembimbing.

Sedangkan yang dimaksud “kepramukaan” adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan, yang sasaran akhirnya pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur. Kepramukaan adalah sistem pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Bapak Pramuka Indonesia adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Lambang dari gerakan gerakan ini adalah bayangan tunas kelapa. Lambang tersebut diciptakan oleh Sunardjo Atmodipuro, karena ia berfikir bahwa seluruh bagian dari pohon kelapa bermanfaat. Diharapkan dengan lambang itu, para pramuka bisa memberi banyak manfaat bagi dirinya dan lingkungan sekitar.

(Dari www.purnayatarigan.blogdetik.com)

TANDA JABATAN


TANDA JABATAN

Lisensi Dipegang Oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia , dapat dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran

Tanda Jabatan bagi Pramuka Penegak dan pandega . Dari kiri ke kanan , atas ke bawah :

  • 1.Pengurus Dewan Ambalan Penegak (Ambalan di Gugus Depan)
  • 2.Pengurus Dewan Racana Pandega (Racana di Gugus Depan)
  • 3.Pengurus Dewan Kerja Ranting Penegak dan Pandega (Tingkat Kwartir Ranting di Kecamatan)
  • 4.Pengurus Dewan Kerja Cabang Penegak dan Pandega (Tingkat Kwartir Cabang di Kota atau Kabupaten)
  • 5.Pengurus Dewan Kerja Daerah Penegak dan Pandega (Tingkat Kwartir Daerah di Propinsi)
  • 6.Pengurus Dewan Kerja Nasional Penegak dan Pandega (Kwatir Nasional)

(Dari berbagai sumber)

Kamis, 13 Oktober 2011

Legenda Putri Pukes


Legenda Putri Pukes

Alkisah pada masa lampau di kampung Nosar, Aceh Tengah, hiduplah sepasang suami istri yang memiliki seorang anak gadis bernama Putri Pukes. Karena sang gadis telah cukup umur, sepasang suami istri itu sangat berharap agar ia segera berjodoh. Siang malam mereka memanjatkan doa agar keinginan mereka segera terlaksana.


Tuhan mendengar doa mereka. Tak berapa lama kemudian, datang sebuah keluarga yang berasal dari Kampung Samar Kilang melamar Putri Pukes. Alangkah bahagianya orang tua Putri Pukes. Setelah melakukan pembicaraan, kedua keluarga sepakat untuk menikahkan anak anak mereka seminggu kemudian.


Kebahagiaan orang tua Putri Pukes mewarnai hari hari dalam keluarga mereka. Aneka persiapan dilakukan untuk menyambut hari pernikahan yang tak lama lagi. Kesibukan membuat sepasang suami istri itu tak menyadari kesedihan yang meliputi hati anak semata wayang mereka.


Meski telah dilamar seorang pemuda tampan, tampaknya Putri Pukes belum siap untuk menikah. Pernikahan yang membuatnya harus meninggalkan orang tua dan kampung halamannya membuat ia bersedih hati. Namun apa daya, Putri Pukes tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Ia memendam kesedihannya dalam hati.


Tibalah saat yang dinanti nanti. Pesta pernikahan Putri Pukes digelar sangat meriah. Banyak tamu yang datang untuk melihat sepasang pengantin yang serasi itu. Senyum senantiasa menghiasi bibir setiap orang yang ada disana. Agar kesedihannya tak nampak, Putri Pukes berusaha tersenyum menyambut para tamu.


Setelah berlangsung beberapa jam, usai sudah pesta pernikahan Putri Pukes. Sesuai adat setempat, orang tua Putri Pukes membekalinya berbagai peralatan rumah tangga untuk dibawanya ke rumah sang suami. Rombongan keluarga dari Samar Kilang bersiap siap hendak kembali ke kampung mereka dengan membawa serta seorang anggota keluarga baru.


Ibunda Putri Pukes memberinya wejangan sebelum sang putri dilepasnya pergi. “Baik baiklah kau dengan keluarga barumu, nak…”, kata sang bunda. “Patuhlah pada suamimu dan hormatlah pada kedua mertuamu…”, tambahnya lagi. Putri Pukes tak sanggup menahan kesedihannya lagi. Air matanya jatuh berderai. Akhirnya ibu dan anak itu menangis sambil berpelukan.


Ketika rombongan telah siap berangkat, sekali lagi ibunda Putri Pukes berpesan pada anaknya. “Jika kau sudah berangkat nanti, janganlah kau menengok ke belakang, nak…”, katanya berbisik di telinga Putri Pukes. Putri Pukes hanya mengangguk. Ia tak sanggup berkata kata.


Rombongan dari Samar Kilang meninggalkan rumah orang tua Putri Pukes ketika hari menjelang sore. Tak disangka, hujan lebat datang mengguyur mereka di tengah jalan. Sang suami segera membawa Putri Pukes untuk berteduh di sebuah gua. Air mata yang mengalir di wajah Putri Pukes bercampur dengan air hujan yang turun deras. Karena hatinya yang sangat sedih, Putri Pukes mengabaikan pesan ibunya. Sebelum masuk gua, Putri Pukes menengok ke belakang. Ia berharap dengan melihat kampungnya dari jauh kesedihannya akan berkurang.


Melanggar pesan seorang ibu ternyata membawa petaka bagi Putri Pukes. Segera saja setelah ia menengok ke belakang, kilat menyambar tubuhnya berkali kali. Seketika itu juga tubuh Putri Pukes berubah menjadi batu.


Hingga kini, tubuh Putri Pukes yang diletakkan dalam sebuah gua masih ada. Gua yang akhirnya terkenal sebagai Gua Putri Pukes itu terletak di Takengon, Aceh tengah. Menurut penjaga gua, batu yang dipercaya sebagai jelmaan tubuh Putri Pukes itu semakin membesar karena air mata sang putri yang kadang kadang menetes berubah menjadi batu. Tak sedikit juga yang percaya, batu itu menitikkan air mata jika orang yang mengunjunginya sedang bersedih hati.


(dari berbagai Sumber)


Asal Usul Danau Toba


Asal Usul Danau Toba

Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.


(dari berbagai sumber)

.......::::::Asal Usul Sumpit::::::.............


.......::::::Asal Usul Sumpit::::::.............

Pada masa silam di Pulau Kalimantan terdapat sebuah desa bernama Desa Saing Pete. Uniknya desa ini dipimpin oleh seorang wanita. Sang pemimpin bernama Rerayu. Rerayu sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan senantiasa berusaha membuat rakyat Saing Pete hidup makmur dan sejahtera. Rakyat sangat hormat padanya.


Sehari hari Rerayu tinggal di rumahnya yang besar. Ia ditemani beberapa orang pelayan yang setia mengurus keperluan rumah tangganya. Rumah Rerayu memiliki halaman yang sangat luas. Halaman itu dipenuhi oleh berbagai kandang binatang. Rerayu sangat suka memelihara binatang.


Banyak penduduk yang datang kepada Rerayu untuk menjual binatang peliharaan. Jika Rerayu belum memilikinya, ia pasti akan membelinya. Lama kelamaan halaman rumah Rerayu semakin penuh oleh kandang binatang yang jumlahnya terus bertambah.


Pada suatu ketika ada seorang pemburu yang datang ke rumah Rerayu untuk menawarkan hasil buruannya. Anehnya ia bukan menawarkan binatang. Ia hendak menjual sebuah telur yang ukurannya sebesar kepala orang dewasa.


Rerayu sangat tertarik akan telur tersebut. “Telur apakah ini ?”, tanya Rerayu. “Apakah ini telur burung raksasa ?”, ujarnya sambil mengamati telur tersebut. Sang pemburu juga tidak mengetahui telur apa yang ditemukannya itu. “Tadinya aku bermaksud menggorengnya, tapi telur itu sangat keras. Aku dan istriku tidak berhasil memecahkannya”, jelas si pemburu.


Tanpa berpikir panjang Rerayu setuju untuk membeli telur itu. Ia membayarnya dengan sekeping uang emas. Sang pemburu sangat senang. Ia tak menyangka Rerayu menghargai telur temuannya sangat mahal. Ia segera pamit dan meninggalkan Rerayu yang masih saja mengamati telur itu dengan mata berbinar binar.


Rerayu memutuskan untuk meletakkan telur itu bersama sama dengan telur rajawali yang sedang dierami induknya. Tak disangka burung rajawali miliknya menolak untuk mengerami telur asing itu. Ia menginjak injak telur besar itu. Seperti cerita si pemburu tadi, telur besar itu tidak pecah juga. Akhirnya rajawali kelelahan. Ia diam saja dan kembali duduk mengerami telur itu bersama telur telurnya yang lain.


Hari berganti hari. Rerayu senantiasa menantikan telur besarnya menetas. Ia tidak sabar untuk melihat telur binatang apakah itu. Hingga tibalah pada suatu pagi, datang sang pengurus rumahnya memberitahu Rerayu bahwa telur itu sudah menetas.


Dengan tergesa gesa Rerayu meninggalkan sarapannya dan berjalan menuju kandang burung rajawali. Ia terkejut melihat seekor burung yang besarnya hampir menyerupai burung rajawali peliharaannya. “Jenis burung apakah ini ?”, gumamnya heran. “Baru menetas saja besarnya sudah hampir sebesar induk rajawali. Akan sebesar apa ia nantinya ?”, pikirnya lagi. Walaupun demikian Rerayu sangat senang menyambut kehadiran burung raksasa itu. Ia menamainya si Bulau.


Keberadaan si Bulau segera saja tersebar ke seluruh penjuru desa. Para penduduk datang berbondong bondong ke rumah Rerayu untuk melihat sendiri burung raksasa itu. Banyak penduduk yang terpukau pada si Bulau. Namun demikian tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan burung raksasa itu akan mengancam keselamatan desa nantinya. Apalagi mereka melihat sendiri bagaimana Rerayu sangat memanjakan burung itu. Ia senantiasa memberinya makan daging segar.


Si Bulau tumbuh sangat cepat. Tubuhnya semakin besar. Tak terasa ia telah tumbuh menjadi seekor burung raksasa. Kandang yang dibuat Rerayu untuknya tidak muat lagi. Akhirnya Rerayu membiarkan burung itu terbang bebas. Si Bulau akan pulang jika perutnya lapar.


Rerayu harus menyediakan daging segar yang banyak untuk makan si Bulau. Ia membeli setiap hasil buruan penduduk yang dijual kepadanya. Semakin hari semakin sedikit hasil buruan yang didapat penduduk. Binatang buruan semakin langka karena setiap hari diburu. Akibatnya jumlah daging yang disediakan untuk si Bulau semakin sedikit. Ia terlihat mulai kelaparan.


Si Bulau mulai mengusik penduduk. Ia menyambar ayam peliharaan penduduk. Ketika ayam makin sukar diperoleh, ia mulai menyambar kambing, bahkan sapi. Akibatnya penduduk marah. Mereka mendatangi rumah Rerayu untuk meminta ganti rugi.


Rerayu mulai kewalahan. Harta bendanya mulai habis guna membiayai akibat ulah burung raksasa kesayangannya itu. Tak sedikit penduduk yang datang meminta ganti rugi. Setiap hari ada saja penduduk yang datang ke rumahnya. Karena tak kuasa lagi menanggung semua itu, akhirnya Rerayu mengumumkan bahwa si Bulau bukan miliknya lagi. Oleh sebab itu setiap perbuatan si Bulau bukan tanggung jawabnya lagi.


Karena tidak ada yang bertanggung jawab lagi atas si Bulau, penduduk menganggapnya sebagai musuh yang harus diwaspadai. Mereka tidak mau lengah menjaga binatang ternak miliknya. Akibatnya si Bulau kesulitan mendapat makanan. Pulang ke rumah Rerayupun, ia tidak diberi makan. Kali ini si Bulau benar benar kelaparan.


Si Bulau terbang kesana kemari mencari binatang ternak penduduk. Namun ia tak menemukan seekor binatangpun. Setelah seharian lebih menahan lapar, akhirnya si Bulau mulai ganas. Ia menyambar seorang anak kecil yang sedang bermain di halaman rumahnya. Orang tua sang anak menjerit jerit melihat anaknya dibawa terbang oleh si Bulau. Kejadian ini segera tersebar ke seluruh penjuru desa. Para penduduk Desa Saing Pete geger dibuatnya.


Para tetua adat segera berkumpul. Mereka menyalahkan Rerayu atas kejadian ini. Beberapa tetua adat mengungkapkan kekhawatirannya yang sudah dirasakan sejak si Bulau menetas. Firasat mereka benar adanya. Si Bulau tumbuh menjadi burung raksasa yang mengancam keselamatan para penduduk.


Tak menunggu lama, para tetua adat dan penduduk segera mendatangi rumah Rerayu. Mereka meminta pertanggungjawabannya. Rerayu yang sudah mengetahui perihal si Bulau yang menyambar seorang anak kecil dari para pembantunya, segera keluar rumah menemui para tamunya. Badannya mulai gemetar melihat para penduduk yang berteriak teriak marah kepadanya. Rerayu berusaha sekuat tenaga menenangkan diri.


Para tetua adat kasihan melihat pemimpin mereka yang kelihatan sangat terpukul atas kejadian ini. Mereka membantu menenangkan para penduduk yang marah. Rerayu segera mengajak mereka untuk mencari dimana si Bulau berada. Ia berharap semoga si Bulau belum memangsa anak kecil itu.


Tiba tiba datang seorang penduduk yang mengabarkan ia melihat si Bulau sedang bertengger di pohon besar di pinggir sungai. Rerayu diikuti para penduduk segera mengarah kesana. Tak lupa Rerayu mengerahkan tujuh orang pendekar yang selama ini dipercaya menjaga keamanan kampung.


Benar apa yang dilaporkan seorang penduduk tadi. Dari jauh Rerayu melihat si Bulau sedang bertengger sambil mencengkram seorang anak kecil. Sang anak menangis ketakutan. Suara tangis sang anak membuat para penduduk semakin geram. Mereka tak sabar untuk membunuh si Bulau.


Tujuh orang pendekar kepercayaan Rerayu segera maju. Mereka berjalan mengendap endap. Sementara mereka memanjat pohon tempat si Bulau bertengger dengan perlahan, Rerayu dan para penduduk melihatnya dari jauh. Mereka tak ingin si Bulau mengetahui kedatangan mereka.


Namun apa daya. Penciuman si Bulau sungguh tajam. Ia menyadari keberadaan manusia di dekatnya. Tangisan sang anak semakin keras karena si Bulau mencengkeramnya lebih kuat.


Rerayu tak mampu menahan diri melihat kejadian itu. Ia segera berlari mendekati si Bulau dan berteriak “Hei Bulau..!!, lepaskan anak itu..!!”, teriak Rerayu dengan nada marah. Si Bulau mengenali suara tuannya. Ia segera menengok ke arah Rerayu dan melihatnya sejenak. Tak lama kemudian si Bulau mengeluarkan suara jeritan yang sangat memekakkan telinga sambil mengepakkan sayapnya keras keras. Para pendekar yang sedang berusaha mendekatinya sangat terkejut dan terjatuh dari pohon.


“Sungguh burung tak tahu diri kau Bulau..!!”, teriak Rerayu lagi. “Mengapa kau menyusahkan rakyatku…??”. Kilatan kemarahan terpancar dari mata si Bulau. Tanpa diduga ia mulai memasukkan anak kecil yang dicengkeramnya tadi kedalam mulutnya. Si Bulau memangsa anak itu dengan rakus.


Para penduduk yang melihat kejadian itu menjerit ngeri. Ayah sang anak kalap dan menghampiri Rerayu. Ia bermaksud membunuh Rerayu dengan pisau yang sedari tadi dibawanya. Untunglah para tetua desa berhasil mengamankan Rerayu. Sang ayah terus memaki Rerayu sambil mengancungkan pisaunya “Awas kau… !! kau harus membayar kematian anakku..!! kau harus mati bersama burung keparat itu…!!”, teriaknya berkali kali. Para penduduk berusaha menenangkannya sambil menuntunnya pulang. Sekali lagi terdengar suara lengkingan si Bulau sebelum ia mengepakkan sayapnya meninggalkan kerumunan orang banyak itu.


Rerayu sangat terpukul atas kejadian itu. Ia sungguh menyesal telah memelihara si Bulau dan membiasakannya makan daging mentah. Tapi apa mau dikata. Semua sudah terlambat. Si Bulau sudah menjadi burung raksasa yang ganas. Bukan hanya hewan ternak, ia sudah berani memangsa manusia. Akibat terus memikirkan si Bulau yang mengancam keselamatan penduduk Saing Pete, Rerayu jatuh sakit.


Para tetua desa berkumpul untuk membahas masalah ini. Mereka mendatangi Rerayu di rumahnya. Seorang tetua desa segera menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Rerayu. “Kami pikir kita harus meminta bantuan Nalau dan Maen untuk memusnahkan si Bulau”, katanya diikuti anggukan para tetua desa lainnya.


Rerayu terdiam sejenak mendengar dua nama yang asing di telinganya itu. “Siapa mereka ?”, tanyanya pelan. “Mereka adalah pendekar gagah berani dan relawan. Mereka siap membantu siapa saja yang memerlukan pertolongan tanpa pamrih”, jawab salah satu tetua adat.


Rerayu setuju usul para tetua adat. Ia tak punya pilihan. Apalagi tujuh orang pendekar kepercayaannya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Dua orang meninggal dunia dan sisanya terluka parah diserang si Bulau.


Hari itu juga Rerayu mengirim utusannya ke Sio Ori untuk menemui Nalau dan Maen. Sampai disana utusan Rerayu memperoleh informasi bahwa Maen sudah tua, ia menyepi di Liang Dhabung. Nalau bersedia menolong penduduk Desa Saing Pete dengan ditemani Kilip, saudaranya.


Begitu tiba di Desa Saing Pete, utusan Rerayu segera membawa Nalau dan Kilip ke rumah Rerayu. Para penduduk ramai berjalan di belakang rombongan itu. Mereka ingin melihat dari dekat sosok pendekar yang akan menolong mereka.


Rerayu sedikit terkejut melihat sosok Nalau dan Kilip. Dua orang pendekar itu masih sangat muda. Walau demikian hati kecilnya percaya akan kemampuan mereka. Rerayu yakin Nalau dan Kilip sanggup membunuh si Bulau.


Berbeda dengan Rerayu, sebagian besar penduduk meragukan kemampuan Nalau dan Kilip. Mereka diam saja ketika Rerayu meminta kesediaannya untuk membantu. Keganasan si Bulau memangsa seorang anak membuat para penduduk kehilangan rasa hormat pada pemimpin mereka itu.


Rerayu marah karena merasa dirinya tidak dihargai lagi oleh rakyatnya. Para pendudukpun tetap bersikukuh bahwa semua ini tidak akan terjadi jika Rerayu mau mendengarkan mereka sedari awal. Suasana menjadi kacau. Untunglah para tetua adat sanggup menenangkan penduduk. Akhirnya mereka sadar bahwa semua upaya ini untuk membebaskan mereka dari ancaman si Bulau.


Nalau dan Kilip mulai melaksanakan tugasnya. Dengan ditemani beberapa orang penduduk, mereka mulai berjalan menyusuri desa mencari si Bulau. Rerayu tak mau ketinggalan. Ia ikut serta dalam rombongan itu.


Tak membutuhkan waktu lama, rombongan itu melihat si Bulau sedang bertengger di sebuah pohon besar di pinggir desa. Tatapan matanya nampak sayu. Kelihatannya si Bulau mengantuk. Mungkin ia kekenyangan sehabis memakan mangsanya.


Nalau dan Kilip segera mengatur rencana. Mereka meminta Rerayu dan para penduduk melihat saja dari jauh. Mereka khawatir si Bulau sadar dirinya sedang diburu jika didekati beramai ramai.


Nalau dan Kilip berjalan mengendap endap mendekati pohon tempat si Bulau bertengger. Mereka berjalan dari arah yang berlawanan. Nalau memberi tanda pada Kilip untuk menjalankan rencana mereka.


Kilip berhenti melangkah dan mengeluarkan suara mirip suara hewan yang melengking. Nalau segera membalas teriakan Kilip dengan mengeluarkan suara yang sama. Si Bulau yang hampir tertidur marah merasa dirinya diganggu. Ia membentangkan kedua sayapnya dan terbang kea rah Kilip. Si Bulau hendak menyerang Kilip.


Ketika si Bulau hampir mencapai Kilip, Nalau segera meniup senjatanya yang terbuat dari bambu. Lidi lidi yang ujungnya beracun melesat kuat dan menancap di tubuh si Bulau. Burung raksasa itu mulai limbung. Namun demikian Nalau terus saja meniup senjatanya. Hujaman lidi lidi beracun membuat si Bulau berteriak kesakitan. Ia meronta berusaha melepaskan lidi lidi itu dari tubuhnya. Usahanya gagal. Racun yang telah masuk ke darahnya membuat tubuh si Bulau lunglai. Ia jatuh terhempas tepat di depan Kilip.


Kilip yang membawa kapak tak menyia nyiakan kesempatan itu. Ia segera menghampiri si Bulau yang terkulai lemah dan memenggal kepalanya sekuat tenaga. Tak ayal, kepala si Bulau putus, terlepas dari badannya. Matilah sudah burung ganas yang meresahkan penduduk Desa Saing Pete.


Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan bertepuk tangan gembira. Mereka segera berlarian ingin melihat bangkai si Bulau dari dekat. Mereka mengelu elukan Nalau dan Kilip sebagai pahlawan Desa Saing Pete.


Rerayupun ikut larut dalam kegembiraan yang dirasakan penduduk. Ada sedikit rasa sedih menyelinap di hatinya ketika melihat burung kesayangannya mati dengan cara mengenaskan. Tapi demi mengingat keganasan burung itu, Rerayu merasa itulah tindakan yang paling tepat.


Rerayu terkesan akan senjata yang digunakan Nalau. Ia segera menanyakannya pada pendekar muda dari Sio Ori itu. “Senjata apa ini anak muda ?”, tanyanya antusias. Rerayu mengamati senjata Nalau dengan seksama. “Ini namanya sumpit”, jawab Nalau ramah. “Senjata ini terbuat dari bambu. Aku bersedia mengajarkan cara membuatnya jika para penduduk tertarik akan senjata ini”, tambahnya lagi.


Rerayu menyambut gembira niat baik Nalau. Ia segera memerintahkan segenap laki laki di Desa Saing Pete untuk belajar membuat sumpit pada Nalau. Sejak saat itu, Sumpit terkenal sebagai senjata Suku Dayak di Pulau Kalimantan.


(dari berbagai sumber)

Kisah Telaga Warna

Kisah Telaga Warna


Kalau kita pergi ke daerah Puncak, Jawa Barat, di sana terdapat sebuah telaga yang bila dilihat pada hari cerah akan terkesan airnya berwarna-warni. Telaga itu namanya Telaga Warna dan konon merupakan air mata tangisan seorang ratu.

Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja. Prabu, begitulah orang memanggilnya. Ia adalah raja yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di negeri itu.

Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.

Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya.. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.

Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.

Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.

Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.

Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.

Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.

Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.

Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.



Jaka Tarub

Jaka Tarub


Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah.

Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.


Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah. Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri.


Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.


Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.


Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula.


Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya.


Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua.


Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.


Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi.


Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.


Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah.


Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya.


“Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.


Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya.


Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang.


Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.


Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun.


Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”.


Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang.


Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.


Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.


Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak.


Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing.


“Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga.


Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya.


Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata.


Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya.


Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”.


Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya.


Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya.


Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya.


Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.


Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan.


Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini.


Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”.


Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung.


Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !!


Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan.


Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab. Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat.


Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar.


“Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya.


“Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan.


“Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya.


“Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsih. “Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar”, lanjut Nawangwulan.


Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik seperti pesan Nawangwulan.



(Dari berbagai sumber)

LUTUNG KASARUNG

LUTUNG KASARUNG

Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.

Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung.



KEONG MAS

KEONG MAS

Pada jaman dulu tersebutlah sebuah kerajaan besar di daerah Jawa Timur bernama Daha. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Kertamarta dengan permaisurinya Diah Prameswari. Mereka dikaruniai dua orang putri yang sangat cantik. Yang sulung bernama Dewi Galuh Ajeng Sari dan adiknya bernama Dewi Galuh Candra Kirana.


Kecantikan dua orang putri Kerajaan Daha ini tersebar ke seantero negeri bahkan sampai ke kerajaan kerajaan tetangga. Banyak lamaran yang datang untuk keduanya. Seperti halnya hari itu, Raja Kertamarta menerima kedatangan putra mahkota Kerajaan Kahuripan bernama Raden Panji Inu Kertapati yang ditemani pengawal setianya Danaswala.


Raden Panji Inu Kertapati merupakan putra mahkota Kerajaan Kahuripan. Kelak ia akan menjadi Raja Kahuripan jika ayahandanya mangkat atau mengundurkan diri. Karena itulah Raja Kertamarta dan Permaisuri Diah Prameswari menyambut baik pinangan Raden Panji Inu Kertapati atas putri mereka. Bukankan hal itu berarti salah satu putri mereka kelak akan menjadi permaisuri Kerajaan Kahuripan ?


Dewi Galuh Ajeng Sari sebagai putri tertua merasa yakin bahwa dirinyalah yang akan dipinang oleh Raden Panji Inu Kertapati. Demikian juga dengan Permaisuri Diah Prameswari. Ia juga yakin kalau Raden Panji Inu Kertapati akan melamar putri sulungnya. Namun tidak demikian halnya dengan Raja Kertamarta. Dari tatapan mata Raden Panji Inu Kertapati atas kedua putrinya, ia justru menilai Raden Panji Inu Kertapati jatuh cinta terhadap putri bungsunya Dewi Galuh Candra Kirana.


Untuk memastikan siapakah putri pilihan Raden Panji Inu Kertapati, Raja Kertamarta langsung bertanya “Siapakah putri pilihanmu Raden ? Dewi Galuh Ajeng Sarikah ? atau Dewi Galuh Candra Kirana ?”. Setelah memilih kata kata yang dianggapnya baik, Raden Panji Inu Kertapati menjawab “hamba mohon maaf jika ada yang tersinggung paduka.. hamba meminang Dewi Galuh Candra Kirana untuk menjadi istri hamba..”.


Benar rupanya dugaan Raja Kertamarta. Ia dan istrinya senang sekali dan menerima pinangan Raden Panji Inu Kertapati. Dewi Galuh Candra Kiranapun tak kalah senangnya. Hatinya sangat gembira. Ia tak menyangka Raden Panji Inu Kertapati yang berwajah tampan dan pewaris tahta Kerajaan Kahuripan akan memilih dirinya ketimbang kakaknya. Walaupun demikian, Dewi Galuh Candra Kirana tidak mau terlalu menampakkan rasa senangnya. Selain hal itu tidak layak, ia juga takut Dewi Galuh Ajeng Sari tersinggung. Bukankah lazimnya Raden Panji Inu Kertapati melamar kakaknya ? apalagi ia tau pasti kalau Dewi Galuh Ajeng Sari sangat ingin dipersunting Raden Panji Inu Kertapati.


Tak mau membuang waktu, malam itu juga Raja Kertamarta menggelar pesta pertunangan Dewi Galuh Candra Kirana dan Raden Panji Inu Kertapati. Seluruh warga Daha diundang ke istana. Pesta berlangsung sangat meriah. Penduduk Kerajaan Daha juga merasa senang karena putri bungsu kerajaan yang cantik dan terkenal santun itu akan dipersunting seorang pangeran tampan kerajaan tetangga. Tiada habisnya mereka mengagumi sepasang calon mempelai yang terlihat sangat serasi itu.


Sukacita yang melingkupi kerajaan Daha rupanya tidak dirasakan oleh Dewi Galuh Ajeng Sari. Ia merasa sakit hati Raden Panji Inu Kertapati tidak memilih dirinya. ‘Apa sih kelebihan Candra Kirana”, pikirnya kesal. Tabiatnya yang selalu mau menang sendiri membuat dirinya tidak rela menyaksikan kebahagiaan Dewi Galuh Candra Kirana. Rasa iri yang sangat menimbulkan niat jahat di hatinya. Ia ingin melenyapkan adik kandungnya itu.


Ditengah berlangsungnya pesta, diam diam Dewi Galuh Ajeng Sari meninggalkan istana. Ia menunggang kudanya membelah malam menuju Hutan Dumeling. Tujuannya satu. Ia ingin menemui Nyi Teluh Upaksi, ahli tenung yang terkenal sangat sakti. Dewi Galuh Ajeng Sari sangat yakin, hanya Nyi Teluh Upaksi yang mampu mewujudkan rencana jahatnya.


Nyi Teluh Upaksi yang berumah di tengah Hutan Dumeling merasa senang menerima kedatangan seorang putri kerajaan. Ia mahfum kalau sang putri membutuhkan bantuannya. Setelah beristirahat sejenak, Dewi Galuh Ajeng Sari menceritakan maksud kedatangannya kepada Nyi Teluh Upaksi. Dengan seksama perempuan paruh baya yang kelihatan seram itu mendengarkan tutur kata tamunya.


“Jangan khawatir Gusti Ayu”, kata Nyi Teluh Upaksi dengan suara parau, “hamba akan membantu melenyapkan adik Gusti Ayu tanpa diketahui oleh siapapun”. Dewi Galuh Ajeng Sari keberatan ketika Nyi Teluh Upaksi menawarkan untuk membunuh Dewi Galuh Candra Kirana. Ia hanya ingin adiknya itu menghilang dari kerajaan Daha. Dengan cara begitu dirinya berharap pelan pelan akan dapat menarik simpati Raden Panji Inu Kertapati. Jika rencananya berjalan lancar, tercapailah keinginannya dipersunting Pangeran Kerajaan Kahuripan itu.


Setelah menyusun rencana bersama Nyi Teluh Upaksi, pulanglah Dewi Galuh Ajeng Sari ke Kerajaan Daha. Penghuni kerajaan yang tertidur lelah setelah berpesta semalaman tidak mengetahui kepulangannya. Diam diam Dewi Galuh Ajeng Sari menyelinap ke kamarnya. Rasa lelah yang menyerangnya setelah berkuda semalaman tidak ia hiraukan.


Tiba di kamarnya yang mewah, Dewi Galuh Ajeng Sari mengeluarkan kendi yang dibawanya dari rumah Nyi Teluh Upaksi. Tiba tiba keluar asap hitam dari mulut kendi yang segera berubah wujud menjadi Nyi Teluh Upaksi. “Mari kita ke kamar Candra Kirana sekarang”, ajak Nyi Teluh Upaksi. Ia melihat keraguan di wajah Dewi Galuh Ajeng Sari. “Gusti Ayu jangan takut”, ujarnya,” seluruh penghuni kerajaan ini telah hamba buat tertidur lelap. Mereka tidak akan bangun sebelum urusan kita selesai”, tambahnya.


Dewi Galuh Candra Kirana tertidur lelap ketika Nyi Teluh Upaksi dan kakaknya tiba di kamarnya. Sinar kebahagiaan terlihat diwajahnya yang cantik. Dengan ilmu sihirnya Nyi Teluh Upaksi membuat wujud Dewi Galuh Candra Kirana berubah menjadi seekor keong berwarna emas. Dewi Galuh Ajeng Sari menatap Nyi Teluh Upaksi dan berkata “akan kau apakan keong mas itu ? apa ia bisa kembali menjadi Candra Kirana ?”, tanyanya ingin tau. “Tenang Gusti Ayu”, katanya seraya mengambil keong mas dan meletakkannya di telapak tangannya. “Hamba akan membawa keong mas ini dan membuangnya di tempat yang sangat jauh. Dengan begitu rasanya mustahil keong mas ini dapat bertemu Raden Panji Inu Kertapati “, ujar Nyi Teluh Upaksi meyakinkan Dewi Galuh Ajeng Sari. “Keong mas ini dapat kembali menjadi Candra Kirana jika ia bertemu calon suaminya itu”, suara Nyi Teluh Upaksi terdengar puas. Ia bangga ilmu sihirnya dipercaya oleh seorang putri kerajaan.


Hari menjelang subuh ketika Nyi Teluh Upaksi meninggalkan istana dengan membawa keong mas yang tak lain adalah Dewi Galuh Candra Kirana. Ia menuju ke Jurang Terbil, sebuah jurang yang sangat tinggi dengan air terjun yang meluncur deras nun jauh dipinggir Hutan Dumeling. Nyi Teluh Upaksi membuang sang keong mas disana. Ia berharap keong mas itu segera mati begitu terhempas di dasar jurang.


Kerajaan Daha gempar dengan menghilangnya Dewi Galuh Candra Kirana. Tak seorangpun tahu kemana perginya sang putri. Untuk menutupi kejahatannya, Dewi Galuh Ajeng Sari berpura pura sedih atas hilangnya sang adik. Raja Kertamarta segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk mencari Dewi Galuh Candra Kirana. Seluruh pelosok kerajaan telah dijelajahi namun putri cantik itu tak jua ditemukan.


Sementara itu keong mas bernasib mujur. Air terjun Jurang Terbil malah membawanya masuk ke dalam Sungai Weningan yang terletak di Desa Kemlawe. Pagi itu ada seorang wanita tua penduduk desa yang sedang menjala ikan. Namanya Mbok Jomplang. Tak sengaja keong mas tersangkut di jala Mbok Jomplang.


Sampai menunggu setengah hari, Mbok Jomplang tidak mendapat seekor ikanpun. Matahari yang bersinar sangat terik membuat dirinya lelah. Akhirnya Mbok Jomplang memutuskan untuk pulang. Ketika Ia menarik jalanya, Mbok Jomplang kaget melihat seekor keong berwarna emas tersangkut disana. “Keong apa ini ?”, tanyanya dalam hati. Ia mengamati keong itu sejenak. “Ah sudahlah, kubawa pulang saja keong ini. Manatau keong ini membawa keberuntungan buatku”, putusnya sambil melepaskan keong mas dari jala ikannya.


Mbok Jomplang berjalan pulang dengan menahan rasa lapar. Begitu sampai di rumahnya yang sangat sederhana, Mbok Jomplang segera mengisi tempayan miliknya dengan air. Ia menyimpan keong mas yang ditemukannya barusan disana. Setelah itu Mbok Jomplang makan siang dengan lauk seadanya. Dirinya yang seorang janda dan tidak mempunyai anak serta sanak saudara, jauh dari kecukupan. Pekerjaannya hanya menjala ikan untuk dimakan sendiri. Jika hasil tangkapannya berlebih barulah ia bisa menjualnya ke pasar.


Keesokan paginya Mbok Jomplang pergi ke Sungai Weningan seperti biasa. Lagi lagi nasib sial menghampirinya. Tidak seekor ikanpun ia dapatkan. Setelah menunggu sampai matahari di atas kepala, akhirnya Mbok Jomplang pulang. “Jangan jangan keong mas itu pertanda buruk untukku”, pikirnya sambil melangkah pelan. Perutnya yang perih membuatnya tidak mampu berjalan cepat.


Ketika sampai di depan rumahnya, Mbok Jomplang mencium bau masakan yang lezat. “Mungkin bau masakan tetangga”, duganya sambil melangkah masuk. Alangkah terkejutnya Mbok Jomplang ketika matanya tertuju ke meja makan sederhana miliknya. Berbagai makanan yang kelihatan lezat tersaji disana. Mbok Jomplang mengusap usap matanya. Ia mengira dirinya sedang bermimpi. Setelah tertegun beberapa saat akhirnya Mbok Jomplang makan dengan lahapnya. Perutnya yang lapar membuatnya lupa sejenak akan rasa herannya.


Hari hari berikutnya dilalui Mbok Jomplang dengan keanehan yang sama. Tidak seekor ikanpun ia dapatkan ketika pergi menjala ke Sungai Weningan. Namun demikian dirinya tidak pernah kelaparan. Selalu saja tersedia aneka masakan lezat di meja makannya ketika ia pulang.


Lama lama rasa penasaran menghantui Mbok Jomplang. Ia ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang telah menyediakan semua masakan itu untuknya. Suatu siang Mbok Jomplang pulang ke rumah dengan mengendap endap. Ia tidak mau masuk ke rumahnya lewat pintu depan seperti biasanya. Dengan sangat perlahan Mbok Jomplang masuk lewat pintu belakang.


Mbok Jomplang terperanjat melihat sosok seorang wanita cantik yang berada di dapurnya. Demikian juga dengan wanita itu yang tak lain adalah Dewi Galuh Candra Kirana. Setelah saling pandang beberapa saat, Mbok Jomplang bertanya “Siapa engkau ? darimana asalmu ? bagaimana kau bisa ada di rumahku ?”. Rasa heran membuatnya bertanya bertubi tubi.


Dewi Galuh Candra Kirana menceritakan kejadian buruk yang menimpanya. Mbok Jomplang semula ragu akan cerita yang didengarnya. Tapi setelah Dewi Galuh Candra Kirana menceritakan bahwa semua masakan lezat yang tersaji untuknya selama ini merupakan hasil aji penyirup yang dimilikinya, barulah Mbok Jomplang percaya. “Ayahanda membekaliku aji pengirup agar aku bisa memindahkan masakan dari istana ke tempat dimana aku berada”, kata sang putri. Mbok Jomplang serasa bermimpi. Ia tidak menyangka akan bertemu putri Kerajaan Daha dengan cara seperti ini.


Untuk membalas kebaikan hati sang putri, Mbok Jomplang bertekad untuk mempertemukan sang putri yang sekarang berwujud keong mas dengan Raden Panji Inu Kertapati. Hanya itulah satu satunya jalan sebagaimana diceritakan sang putri kepadanya. Mbok Jomplang merasa sedih ketika Dewi Galuh Candra Kirana berubah wujud kembali menjadi keong mas yang berdiam di tempayannya. Perubahan wujudnya yang sementara bisa terjadi atas ijin Yang Mahakuasa.


Nun jauh di Kerajaan Kahuripan, Pangeran Raden Panji Inu Kertapati terusik oleh mimpinya semalam. Ia memanggil pengawal setianya Danaswala dan menceritakan mimpinya kehilangan cincin pemberian Candra Kirana. Danaswala menganggap mimpi Raden Panji Inu Kertapati sebagai pertanda akan suatu kejadian buruk . Sang Pangeran setuju atas usul Danaswala untuk segera berangkat ke Kerajaan Daha.


Begitu sampai di Kerajaan Daha, terjawablah sudah arti mimpi Raden Panji Inu Kertapati. Walaupun sangat terkejut dan sedih begitu mengetahui calon istrinya menghilang entah kemana, ia berusaha tegar. Raden Panji Inu Kertapati yakin Dewi Galuh Candra Kirana masih hidup. Oleh karenanya, atas ijin Raja Kertamarta, sang pangeran bersama Danaswala akan mencari Dewi Galuh Candra Kirana.


Ditengah perjalanan, Raden Panji Inu Kertapati mengusulkan agar dirinya dan Danaswala berpencar. Ia meminta Danaswala untuk melakukan pencarian kearah barat sementara dirinya meneruskan perjalanan kea rah Hutan Dumeling. Entah kenapa kata hatinya menyuruhnya untuk masuk ke hutan yang terkenal angker itu.


Karena banyaknya akar pohon besar yang malang melintang di dalam Hutan Dumeling, tak sengaja kaki kuda Raden Panji Inu Kertapati tersandung. Sang Pangeran dan kudanya jatuh tersungkur dengan keras. Raden Panji Inu Kertapati selamat sedangkan kudanya tergeletak dalam keadaan tak bernyawa. Walau tanpa kuda tunggangan lagi, cintanya yang besar terhadap Dewi Galuh Candra Kirana membuat Raden Panji Inu Kertapati bertekad meneruskan perjalanannya memasuki Hutan Dumeling.


Kondisi hutan yang gelap dan tak tahu arah membuat Raden Panji Inu Kertapati hanya berputar putar di dalam hutan. Karena badannya yang lelah tanpa sengaja iapun tertidur di bawah sebuah pohon. Setelah beberapa lama Sang Pangeran tertidur, ia dibangunkan oleh suara gagak hitam sedang berbicara layaknya manusia yang terdengar sayup sayup dari kejauhan.


Raden Panji Inu Kertapati memasang telinganya mendengarkan baik baik apa yang dibicarakan gagak hitam itu. Aneh sekali, rupanya gagak hitam itu sedang menceritakan kisah cintanya dengan Dewi Galuh Candra Kirana. “Bagaimana dia bisa tahu semua ini ?”, gumam Raden Panji Inu Kertapati. Karena penasaran, Raden Panji Inu Kertapati berjalan mencari dimana gagak hitam berada.


Setelah berjalan sebentar, Raden Panji Inu Kertapati menemukan si gagak hitam sedang bertengger di dahan sebuah pohon. “Kau bisa berbicara gagak hitam ?”, tanyanya antusias. Gagak hitam menjawab “tentu saja, bahkan aku bisa menolongmu menemukan Candra Kirana”, ujarnya yakin. Raden Panji Inu Kertapati merasa sangat gembira. Ia tak menyangka menemukan seekor burung ajaib yang sanggup menolongnya.


Raden Panji Inu Kertapati mengikuti gagak hitam yang menuntun jalannya menuju Jurang Terbil. Gagak hitam mengaku pernah melihat Dewi Galuh Candra Kirana berdiri di pinggir jurang itu. Melihat air terjun yang sangat deras, Raden Panji Inu Kertapati merasa dirinya lemas seketika. “Kau yakin Candra Kirana kemari ?”, tanyanya pada gagak hitam. “Kalau memang benar, pastilah calon istriku itu sudah mati “, gumamnya. Karena rasa putus asa yang menderanya, Sang Pangeran berniat bunuh diri.


“Jangan lakukan itu Raden !”, kata gagak hitam.”Bukankah ada Ajeng Sari yang bisa menggantikan Candra Kirana ?”, tambahnya. Bujukan gagak hitam kelihatannya tidak mampu membuat Raden Panji Inu Kertapati mengurungkan niatnya. Ia terus berjalan menuju bibir jurang.


Tiba tiba muncul seorang kakek berpakaian putih dan berteriak lantang “Hentikan langkahmu Raden ! Kau telah tertipu oleh gagak hitam ini. Candra Kirana masih hidup. Ia ada di suatu tempat”. Raden Panji Inu Kertapati terkejut. “Siapakah kau Pak Tua ?’, tanyanya heran. “Aku Ki Seblakwisa”, kata sang kakek sambil melemparkan tongkatnya kearah gagak hitam. Seketika itu juga gagak hitam berubah wujud menjadi Nyi Teluh Upaksi.


“Inilah Nyi Teluh Upaksi. Dia menyamar menjadi seekor gagak hitam untuk mengelabuimu”, ujar Ki Seblakwisa. Kakek sakti itu memberitahu Raden Panji Inu Kertapati apa yang sesungguhnya terjadi. Nyi Teluh Upaksi sangat marah mendengarkan cerita Ki Seblakwisa. Ia memasang kuda kuda untuk menyerang sang kakek. Nasib naas menimpanya. Kakinya terpeleset di bibir jurang. Tak ayal tubuh Nyi Teluh Upaksi jatuh terhempas di dasar Jurang Terbil dan mati seketika.


Atas petunjuk Ki Seblakwisa, Raden Panji Inu Kertapati meneruskan perjalanannya kearah timur. Disanalah ia akan bertemu dengan Dewi Galuh Candra Kirana yang sekarang berwujud seekor keong mas. Ketika menoleh ke belakang, Raden Panji Inu Kertapati tidak melihat Ki Seblakwisa lagi. Kakek sakti itu telah menghilang.


Perjalanan Raden Panji Inu Kertapati membawanya tiba di pasar Desa Kemlawe. Percakapannya dengan seorang penjual ikan tak sengaja di dengar oleh Mbok Jomplang yang kebetulan sedang berada disana. “Inilah Raden Panji Inu Kertapati”, ujarnya dalam hati sambil memandang tak percaya kearah sang pangeran. Ia mendengar sendiri kalo orang asing itu menanyakan Candra Kirana. “Mungkin inilah petunjuk Yang Mahakuasa”, pikirnya lagi. Tanpa ragu, Mbok Jomplang segera menghampiri Raden Panji Inu Kertapati dan memperkenalkan diri. Tak lama kemudian Mbok Jomplang mengajak sang pangeran ke rumahnya.


Begitu sampai di rumah Mbok Jomplang, Raden Panji Inu Kertapati memasuki rumah itu dengan hati berdebar. Ia berusaha menahan keinginannya yang begitu menggebu untuk berjumpa dengan Dewi Galuh Candra Kirana. Ia duduk di teras rumah menunggu Mbok Jomplang mengambil keong mas dari tempayan.


“Inilah Candra Kirana”, kata Mbok Jomplang sambil menyerahkan keong mas ke tangan Raden Panji Inu Kertapati. Sang pangeran mengambil keong mas itu dan mengamatinya sesaat. “Silahkan Raden meletakkannya di tanah”, kata Mbok Jomplang lagi. Raden Panji Inu Kertapati meletakkan keong mas itu dengan hati hati di tanah. Benar saja, keong mas itu berubah wujud menjadi Dewi Galuh Candra Kirana. Sihir Nyi Teluh Upaksi telah sirna selamanya. Syarat yang ditentukannya telah terpenuhi. Atas ijin Yang Mahakuasa, keong mas dapat bertemu dengan Raden Panji Inu Kertapati.


Setelah melepas rindu, Raden Panji Inu Kertapati dan Dewi Galuh Candra Kirana memutuskan untuk segera kembali ke istana Kerajaan Daha. Mereka membawa serta Mbok Jomplang. Mereka menganggap Mbok Jomplang merupakan kepanjangan tangan Yang Mahakuasa untuk menolong mereka.


Tak terlukiskan kebahagiaan Raja Kertamarta dan Permaisuri Diah Prameswari. Mereka menyambut kedatangan putri bungsu yang menghilang sekian lama dengan rasa sukacita. Segera saja Raja Kertamarta memerintahkan untuk menyelenggarakan pesta besar malam harinya dengan mengundang seluruh warga kerajaan. Semua larut dalam suasana kebahagiaan.


Lagi lagi sukacita yang melingkupi Kerajaan Daha tidak dirasakan oleh Dewi Galuh Ajeng Sari. Kali ini dia bukan hanya iri terhadap adiknya, tapi dia juga takut kejahatannya terbongkar. Tanpa membuang waktu lagi, Dewi Galuh Ajeng Sari diam diam meninggalkan istana. Meriahnya pesta yang tengah berlangsung tidak membuat seorangpun menyadari kepergiannya.


Dewi Galuh Ajeng Sari menunggang kudanya berlari cepat menuju Hutan Dumeling. Tujuannya Cuma satu, Nyi Teluh Upaksi. Dirinya bermaksud meminta bantuan tukang tenung itu lagi untuk membunuh Dewi Galuh Candra Kirana. Dia ingin adiknya itu lenyap selamanya. Dengan begitu bukan hanya kejahatannya yang tertutupi, keinginannya untuk dipersunting Raden Panji Inu Kertapatipun akan segera terwujud.


Begitu sampai di rumah Nyi Teluh Upaksi, Dewi Galuh Ajeng Sari mendapati rumah itu kosong. Dia berpikir Nyi Teluh Upaksi sedang pergi untuk suatu urusan. Karena lelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya Dewi Galuh Ajeng Sari tertidur. Ketika ia bangun, hari sudah pagi. Nyi Teluh Upaksi belum juga kembali.


Di tengah kebingungannya, tiba tiba sebuah keris milik Nyi Teluh Upaksi berbicara kepada Dewi Galuh Ajeng Sari. “Segeralah kau pergi ke Jurang Terbil, Nyi Teluh Upaksi menunggumu disana”. Dewi Galuh Ajeng Sari segera meninggalkan rumah Nyi Teluh Upaksi dan menunggang kudanya dengan kecepatan tinggi menuju Jurang Terbil. Hatinya sudah tidak sabar untuk menemui ahli tenung itu.

Tak berapa lama kemudian sampailah Dewi Galuh Ajeng Sari di pinggir Jurang Terbil. Tak ada seorangpun yang ditemuinya disana. Ia turun dari kudanya seraya matanya terus mencari sosok Nyi Teluh Upaksi. Lamat lamat ia mendengar sebuah suara diantara gemuruhnya air terjun Jurang Terbil. “Aku disini”, terdengar suara Nyi Teluh Upaksi. “Dimana kau Nyi Teluh Upaksi ?”, teriak Dewi Galuh Ajeng Sari penasaran. “Aku disini”, terdengar lagi suara Nyi Teluh Upaksi. “Dimana kau ?”, teriak Dewi Galuh Ajeng Sari sambil terus mencari. “Aku disini. Didasar jurang”, suara Nyi Teluh Upaksi terdengar sangat jelas. Dewi Galuh Ajeng Sari berjalan ke bibir Jurang Terbil. Dia bermaksud melihat ke dasar jurang. Sayang nasib naas menimpanya. Batu tempatnya berpijak sangat licin. Dewi Galuh Ajeng Sari terpeleset. Tubuhnya limbung dan kemudian jatuh ke dalam jurang. Putri raja yang berhati jahat itu terhempas ke dasar jurang dan menemui ajalnya disana.