KALENDER


Free Blog Content
BELAJAR BERSAMA - GO GREEN SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA
TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI, NIKMATI SAJIAN DARI BLOG KAMI

Kamis, 13 Oktober 2011

.......::::::Asal Usul Sumpit::::::.............


.......::::::Asal Usul Sumpit::::::.............

Pada masa silam di Pulau Kalimantan terdapat sebuah desa bernama Desa Saing Pete. Uniknya desa ini dipimpin oleh seorang wanita. Sang pemimpin bernama Rerayu. Rerayu sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan senantiasa berusaha membuat rakyat Saing Pete hidup makmur dan sejahtera. Rakyat sangat hormat padanya.


Sehari hari Rerayu tinggal di rumahnya yang besar. Ia ditemani beberapa orang pelayan yang setia mengurus keperluan rumah tangganya. Rumah Rerayu memiliki halaman yang sangat luas. Halaman itu dipenuhi oleh berbagai kandang binatang. Rerayu sangat suka memelihara binatang.


Banyak penduduk yang datang kepada Rerayu untuk menjual binatang peliharaan. Jika Rerayu belum memilikinya, ia pasti akan membelinya. Lama kelamaan halaman rumah Rerayu semakin penuh oleh kandang binatang yang jumlahnya terus bertambah.


Pada suatu ketika ada seorang pemburu yang datang ke rumah Rerayu untuk menawarkan hasil buruannya. Anehnya ia bukan menawarkan binatang. Ia hendak menjual sebuah telur yang ukurannya sebesar kepala orang dewasa.


Rerayu sangat tertarik akan telur tersebut. “Telur apakah ini ?”, tanya Rerayu. “Apakah ini telur burung raksasa ?”, ujarnya sambil mengamati telur tersebut. Sang pemburu juga tidak mengetahui telur apa yang ditemukannya itu. “Tadinya aku bermaksud menggorengnya, tapi telur itu sangat keras. Aku dan istriku tidak berhasil memecahkannya”, jelas si pemburu.


Tanpa berpikir panjang Rerayu setuju untuk membeli telur itu. Ia membayarnya dengan sekeping uang emas. Sang pemburu sangat senang. Ia tak menyangka Rerayu menghargai telur temuannya sangat mahal. Ia segera pamit dan meninggalkan Rerayu yang masih saja mengamati telur itu dengan mata berbinar binar.


Rerayu memutuskan untuk meletakkan telur itu bersama sama dengan telur rajawali yang sedang dierami induknya. Tak disangka burung rajawali miliknya menolak untuk mengerami telur asing itu. Ia menginjak injak telur besar itu. Seperti cerita si pemburu tadi, telur besar itu tidak pecah juga. Akhirnya rajawali kelelahan. Ia diam saja dan kembali duduk mengerami telur itu bersama telur telurnya yang lain.


Hari berganti hari. Rerayu senantiasa menantikan telur besarnya menetas. Ia tidak sabar untuk melihat telur binatang apakah itu. Hingga tibalah pada suatu pagi, datang sang pengurus rumahnya memberitahu Rerayu bahwa telur itu sudah menetas.


Dengan tergesa gesa Rerayu meninggalkan sarapannya dan berjalan menuju kandang burung rajawali. Ia terkejut melihat seekor burung yang besarnya hampir menyerupai burung rajawali peliharaannya. “Jenis burung apakah ini ?”, gumamnya heran. “Baru menetas saja besarnya sudah hampir sebesar induk rajawali. Akan sebesar apa ia nantinya ?”, pikirnya lagi. Walaupun demikian Rerayu sangat senang menyambut kehadiran burung raksasa itu. Ia menamainya si Bulau.


Keberadaan si Bulau segera saja tersebar ke seluruh penjuru desa. Para penduduk datang berbondong bondong ke rumah Rerayu untuk melihat sendiri burung raksasa itu. Banyak penduduk yang terpukau pada si Bulau. Namun demikian tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan burung raksasa itu akan mengancam keselamatan desa nantinya. Apalagi mereka melihat sendiri bagaimana Rerayu sangat memanjakan burung itu. Ia senantiasa memberinya makan daging segar.


Si Bulau tumbuh sangat cepat. Tubuhnya semakin besar. Tak terasa ia telah tumbuh menjadi seekor burung raksasa. Kandang yang dibuat Rerayu untuknya tidak muat lagi. Akhirnya Rerayu membiarkan burung itu terbang bebas. Si Bulau akan pulang jika perutnya lapar.


Rerayu harus menyediakan daging segar yang banyak untuk makan si Bulau. Ia membeli setiap hasil buruan penduduk yang dijual kepadanya. Semakin hari semakin sedikit hasil buruan yang didapat penduduk. Binatang buruan semakin langka karena setiap hari diburu. Akibatnya jumlah daging yang disediakan untuk si Bulau semakin sedikit. Ia terlihat mulai kelaparan.


Si Bulau mulai mengusik penduduk. Ia menyambar ayam peliharaan penduduk. Ketika ayam makin sukar diperoleh, ia mulai menyambar kambing, bahkan sapi. Akibatnya penduduk marah. Mereka mendatangi rumah Rerayu untuk meminta ganti rugi.


Rerayu mulai kewalahan. Harta bendanya mulai habis guna membiayai akibat ulah burung raksasa kesayangannya itu. Tak sedikit penduduk yang datang meminta ganti rugi. Setiap hari ada saja penduduk yang datang ke rumahnya. Karena tak kuasa lagi menanggung semua itu, akhirnya Rerayu mengumumkan bahwa si Bulau bukan miliknya lagi. Oleh sebab itu setiap perbuatan si Bulau bukan tanggung jawabnya lagi.


Karena tidak ada yang bertanggung jawab lagi atas si Bulau, penduduk menganggapnya sebagai musuh yang harus diwaspadai. Mereka tidak mau lengah menjaga binatang ternak miliknya. Akibatnya si Bulau kesulitan mendapat makanan. Pulang ke rumah Rerayupun, ia tidak diberi makan. Kali ini si Bulau benar benar kelaparan.


Si Bulau terbang kesana kemari mencari binatang ternak penduduk. Namun ia tak menemukan seekor binatangpun. Setelah seharian lebih menahan lapar, akhirnya si Bulau mulai ganas. Ia menyambar seorang anak kecil yang sedang bermain di halaman rumahnya. Orang tua sang anak menjerit jerit melihat anaknya dibawa terbang oleh si Bulau. Kejadian ini segera tersebar ke seluruh penjuru desa. Para penduduk Desa Saing Pete geger dibuatnya.


Para tetua adat segera berkumpul. Mereka menyalahkan Rerayu atas kejadian ini. Beberapa tetua adat mengungkapkan kekhawatirannya yang sudah dirasakan sejak si Bulau menetas. Firasat mereka benar adanya. Si Bulau tumbuh menjadi burung raksasa yang mengancam keselamatan para penduduk.


Tak menunggu lama, para tetua adat dan penduduk segera mendatangi rumah Rerayu. Mereka meminta pertanggungjawabannya. Rerayu yang sudah mengetahui perihal si Bulau yang menyambar seorang anak kecil dari para pembantunya, segera keluar rumah menemui para tamunya. Badannya mulai gemetar melihat para penduduk yang berteriak teriak marah kepadanya. Rerayu berusaha sekuat tenaga menenangkan diri.


Para tetua adat kasihan melihat pemimpin mereka yang kelihatan sangat terpukul atas kejadian ini. Mereka membantu menenangkan para penduduk yang marah. Rerayu segera mengajak mereka untuk mencari dimana si Bulau berada. Ia berharap semoga si Bulau belum memangsa anak kecil itu.


Tiba tiba datang seorang penduduk yang mengabarkan ia melihat si Bulau sedang bertengger di pohon besar di pinggir sungai. Rerayu diikuti para penduduk segera mengarah kesana. Tak lupa Rerayu mengerahkan tujuh orang pendekar yang selama ini dipercaya menjaga keamanan kampung.


Benar apa yang dilaporkan seorang penduduk tadi. Dari jauh Rerayu melihat si Bulau sedang bertengger sambil mencengkram seorang anak kecil. Sang anak menangis ketakutan. Suara tangis sang anak membuat para penduduk semakin geram. Mereka tak sabar untuk membunuh si Bulau.


Tujuh orang pendekar kepercayaan Rerayu segera maju. Mereka berjalan mengendap endap. Sementara mereka memanjat pohon tempat si Bulau bertengger dengan perlahan, Rerayu dan para penduduk melihatnya dari jauh. Mereka tak ingin si Bulau mengetahui kedatangan mereka.


Namun apa daya. Penciuman si Bulau sungguh tajam. Ia menyadari keberadaan manusia di dekatnya. Tangisan sang anak semakin keras karena si Bulau mencengkeramnya lebih kuat.


Rerayu tak mampu menahan diri melihat kejadian itu. Ia segera berlari mendekati si Bulau dan berteriak “Hei Bulau..!!, lepaskan anak itu..!!”, teriak Rerayu dengan nada marah. Si Bulau mengenali suara tuannya. Ia segera menengok ke arah Rerayu dan melihatnya sejenak. Tak lama kemudian si Bulau mengeluarkan suara jeritan yang sangat memekakkan telinga sambil mengepakkan sayapnya keras keras. Para pendekar yang sedang berusaha mendekatinya sangat terkejut dan terjatuh dari pohon.


“Sungguh burung tak tahu diri kau Bulau..!!”, teriak Rerayu lagi. “Mengapa kau menyusahkan rakyatku…??”. Kilatan kemarahan terpancar dari mata si Bulau. Tanpa diduga ia mulai memasukkan anak kecil yang dicengkeramnya tadi kedalam mulutnya. Si Bulau memangsa anak itu dengan rakus.


Para penduduk yang melihat kejadian itu menjerit ngeri. Ayah sang anak kalap dan menghampiri Rerayu. Ia bermaksud membunuh Rerayu dengan pisau yang sedari tadi dibawanya. Untunglah para tetua desa berhasil mengamankan Rerayu. Sang ayah terus memaki Rerayu sambil mengancungkan pisaunya “Awas kau… !! kau harus membayar kematian anakku..!! kau harus mati bersama burung keparat itu…!!”, teriaknya berkali kali. Para penduduk berusaha menenangkannya sambil menuntunnya pulang. Sekali lagi terdengar suara lengkingan si Bulau sebelum ia mengepakkan sayapnya meninggalkan kerumunan orang banyak itu.


Rerayu sangat terpukul atas kejadian itu. Ia sungguh menyesal telah memelihara si Bulau dan membiasakannya makan daging mentah. Tapi apa mau dikata. Semua sudah terlambat. Si Bulau sudah menjadi burung raksasa yang ganas. Bukan hanya hewan ternak, ia sudah berani memangsa manusia. Akibat terus memikirkan si Bulau yang mengancam keselamatan penduduk Saing Pete, Rerayu jatuh sakit.


Para tetua desa berkumpul untuk membahas masalah ini. Mereka mendatangi Rerayu di rumahnya. Seorang tetua desa segera menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Rerayu. “Kami pikir kita harus meminta bantuan Nalau dan Maen untuk memusnahkan si Bulau”, katanya diikuti anggukan para tetua desa lainnya.


Rerayu terdiam sejenak mendengar dua nama yang asing di telinganya itu. “Siapa mereka ?”, tanyanya pelan. “Mereka adalah pendekar gagah berani dan relawan. Mereka siap membantu siapa saja yang memerlukan pertolongan tanpa pamrih”, jawab salah satu tetua adat.


Rerayu setuju usul para tetua adat. Ia tak punya pilihan. Apalagi tujuh orang pendekar kepercayaannya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Dua orang meninggal dunia dan sisanya terluka parah diserang si Bulau.


Hari itu juga Rerayu mengirim utusannya ke Sio Ori untuk menemui Nalau dan Maen. Sampai disana utusan Rerayu memperoleh informasi bahwa Maen sudah tua, ia menyepi di Liang Dhabung. Nalau bersedia menolong penduduk Desa Saing Pete dengan ditemani Kilip, saudaranya.


Begitu tiba di Desa Saing Pete, utusan Rerayu segera membawa Nalau dan Kilip ke rumah Rerayu. Para penduduk ramai berjalan di belakang rombongan itu. Mereka ingin melihat dari dekat sosok pendekar yang akan menolong mereka.


Rerayu sedikit terkejut melihat sosok Nalau dan Kilip. Dua orang pendekar itu masih sangat muda. Walau demikian hati kecilnya percaya akan kemampuan mereka. Rerayu yakin Nalau dan Kilip sanggup membunuh si Bulau.


Berbeda dengan Rerayu, sebagian besar penduduk meragukan kemampuan Nalau dan Kilip. Mereka diam saja ketika Rerayu meminta kesediaannya untuk membantu. Keganasan si Bulau memangsa seorang anak membuat para penduduk kehilangan rasa hormat pada pemimpin mereka itu.


Rerayu marah karena merasa dirinya tidak dihargai lagi oleh rakyatnya. Para pendudukpun tetap bersikukuh bahwa semua ini tidak akan terjadi jika Rerayu mau mendengarkan mereka sedari awal. Suasana menjadi kacau. Untunglah para tetua adat sanggup menenangkan penduduk. Akhirnya mereka sadar bahwa semua upaya ini untuk membebaskan mereka dari ancaman si Bulau.


Nalau dan Kilip mulai melaksanakan tugasnya. Dengan ditemani beberapa orang penduduk, mereka mulai berjalan menyusuri desa mencari si Bulau. Rerayu tak mau ketinggalan. Ia ikut serta dalam rombongan itu.


Tak membutuhkan waktu lama, rombongan itu melihat si Bulau sedang bertengger di sebuah pohon besar di pinggir desa. Tatapan matanya nampak sayu. Kelihatannya si Bulau mengantuk. Mungkin ia kekenyangan sehabis memakan mangsanya.


Nalau dan Kilip segera mengatur rencana. Mereka meminta Rerayu dan para penduduk melihat saja dari jauh. Mereka khawatir si Bulau sadar dirinya sedang diburu jika didekati beramai ramai.


Nalau dan Kilip berjalan mengendap endap mendekati pohon tempat si Bulau bertengger. Mereka berjalan dari arah yang berlawanan. Nalau memberi tanda pada Kilip untuk menjalankan rencana mereka.


Kilip berhenti melangkah dan mengeluarkan suara mirip suara hewan yang melengking. Nalau segera membalas teriakan Kilip dengan mengeluarkan suara yang sama. Si Bulau yang hampir tertidur marah merasa dirinya diganggu. Ia membentangkan kedua sayapnya dan terbang kea rah Kilip. Si Bulau hendak menyerang Kilip.


Ketika si Bulau hampir mencapai Kilip, Nalau segera meniup senjatanya yang terbuat dari bambu. Lidi lidi yang ujungnya beracun melesat kuat dan menancap di tubuh si Bulau. Burung raksasa itu mulai limbung. Namun demikian Nalau terus saja meniup senjatanya. Hujaman lidi lidi beracun membuat si Bulau berteriak kesakitan. Ia meronta berusaha melepaskan lidi lidi itu dari tubuhnya. Usahanya gagal. Racun yang telah masuk ke darahnya membuat tubuh si Bulau lunglai. Ia jatuh terhempas tepat di depan Kilip.


Kilip yang membawa kapak tak menyia nyiakan kesempatan itu. Ia segera menghampiri si Bulau yang terkulai lemah dan memenggal kepalanya sekuat tenaga. Tak ayal, kepala si Bulau putus, terlepas dari badannya. Matilah sudah burung ganas yang meresahkan penduduk Desa Saing Pete.


Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan bertepuk tangan gembira. Mereka segera berlarian ingin melihat bangkai si Bulau dari dekat. Mereka mengelu elukan Nalau dan Kilip sebagai pahlawan Desa Saing Pete.


Rerayupun ikut larut dalam kegembiraan yang dirasakan penduduk. Ada sedikit rasa sedih menyelinap di hatinya ketika melihat burung kesayangannya mati dengan cara mengenaskan. Tapi demi mengingat keganasan burung itu, Rerayu merasa itulah tindakan yang paling tepat.


Rerayu terkesan akan senjata yang digunakan Nalau. Ia segera menanyakannya pada pendekar muda dari Sio Ori itu. “Senjata apa ini anak muda ?”, tanyanya antusias. Rerayu mengamati senjata Nalau dengan seksama. “Ini namanya sumpit”, jawab Nalau ramah. “Senjata ini terbuat dari bambu. Aku bersedia mengajarkan cara membuatnya jika para penduduk tertarik akan senjata ini”, tambahnya lagi.


Rerayu menyambut gembira niat baik Nalau. Ia segera memerintahkan segenap laki laki di Desa Saing Pete untuk belajar membuat sumpit pada Nalau. Sejak saat itu, Sumpit terkenal sebagai senjata Suku Dayak di Pulau Kalimantan.


(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar